Oleh : Tri wahyudi, Aktivis Peduli Bumi Pertiwi
Pekanbaru, Riau – Srikandinews.com. Fenomena defisit anggaran dan tunda bayar di Provinsi Riau bukan sekadar anomali fiskal, melainkan sinyal sistemik dari kegagalan tata kelola pemerintahan. Saat warga menunggu haknya dibayar, ketika pelaku usaha lokal tertunda pembayarannya oleh pemerintah, dan ketika pelayanan publik terancam karena kekeringan kas daerah, pertanyaan besar muncul : siapa yang harus bertanggung jawab?
Jawaban atas pertanyaan itu tak bisa berhenti di tataran teknis, apalagi dibungkus dengan narasi-narasi normatif seperti “pendapatan tidak tercapai”, “PI Rokan belum cair”, atau “pergeseran belanja karena dinamika lapangan”. Ini bukan hanya soal tidak cairnya pendapatan, melainkan tentang bagaimana perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan anggaran tidak berjalan dengan prinsip kehati-hatian (prudential fiscal management) yang seharusnya menjadi pijakan utama.
Mari kita tarik benang merah tanggung jawab struktural.
Dalam sistem pengelolaan keuangan daerah, terdapat satu jabatan yang memiliki fungsi koordinatif, pengendali anggaran lintas organisasi, sekaligus penanggung jawab pelaksanaan fiskal yaitu Sekretaris Daerah. Sebagai Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), jabatan ini menjadi motor penyusun struktur APBD, penentu prioritas dan pengarah realisasi belanja sesuai kemampuan pendapatan daerah. Jika terdapat belanja yang tetap dieksekusi tanpa dasar penerimaan yang cukup, maka pembiaran tersebut adalah bentuk kelalaian yang tidak bisa dianggap ringan.
Lebih lanjut, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) berada di bawah koordinasi langsung TAPD. Mereka semestinya memberikan sinyal bahaya fiskal ketika proyeksi penerimaan daerah mulai menunjukkan ketidakseimbangan terhadap beban belanja. Jika dua badan ini diam atau dilemahkan fungsinya dalam dinamika anggaran, maka kerusakan fiskal yang terjadi adalah akumulasi dari pembungkaman fungsi kontrol internal.
Jangan pula abaikan peran Eksekutif tertinggi di daerah yaitu Kepala Daerah (Gubernur). Meskipun pelaksanaan teknis menjadi kewenangan ASN melalui Sekda, namun arah kebijakan, visi pembangunan dan pengesahan dokumen anggaran tetap ada dalam tanda tangannya. Maka, defisit anggaran dan tunda bayar tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab politik seorang Kepala Daerah yang seharusnya membentengi sistem keuangan publik dari spekulasi, tekanan proyek dan kepentingan jangka pendek.
Ironisnya, sebagian besar defisit yang terjadi bukanlah akibat dari bencana atau keperluan darurat, tetapi karena komitmen belanja yang tidak realistis, bahkan terkesan dipaksakan. Ketika satuan kerja berani meluncurkan proyek besar tanpa dasar penerimaan yang pasti dan proses tersebut tidak dihentikan sejak awal oleh Tim Anggaran, maka seluruh jaringan pelaku fiskal daerah terindikasi bekerja tanpa instrumen peringatan dini.
Publik kini menanggung akibatnya. Penyedia jasa lokal, Kontraktor, hingga pelaku UMKM yang menjadi mitra pemerintah merasakan langsung betapa rapuhnya komitmen keuangan daerah. Ketika tunda bayar berlangsung berbulan-bulan, efek berantai ekonomi pun mencuat yaitu PHK, kebangkrutan, hingga stagnasi aktivitas sektor riil.
Sudah saatnya dilakukan audit menyeluruh terhadap pola pengelolaan APBD, termasuk pemetaan potensi konflik kepentingan, intervensi politik dalam belanja daerah, serta kekosongan sistem mitigasi fiskal. Reformasi keuangan daerah tidak bisa ditunda. Setiap jabatan yang menikmati wewenang anggaran harus pula memikul beban akuntabilitasnya.
Riau tidak miskin sumber daya. Namun selama pengelolaan fiskalnya tidak menjunjung prinsip keterbukaan, kehati-hatian dan integritas, maka kita hanya akan menyaksikan ulang tahun APBD dengan masalah yang berulang. Kamis, 8 Mei 2025. (Red).