Bintan – Srikandinews.Com. Angga Ananda Faryzki dari
Jurusan Sosiologi Reguler
Mahasiswa Stisipol Raja Haji Tanjungpinang menyampaikan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja telah resmi disahkan di rapat paripurna DPR kemarin, Rabu (28/10/2020). Sejumlah pasal krusial menjadi sorotan. Beberapa pasal memberikan dampak kepada lingkungan dan pekerja. Meskipun UU Ciptaker telah disahkan, sejumlah protes yang menolak Undang-undang masih terus menggema.
Beberapa di antaranya disuarakan oleh protes kaum buruh di sejumlah daerah. UU Ciptaker ini dikhawatirkan memberikan dampak buruk bagi hutan tropis dan menghambat upaya perlindungan hutan Indonesia. Beberapa ketentuan RUU Cipta Kerja juga secara langsung meningkatkan risiko deforestasi besar-besaran dengan menghilangkan perlindungan hukum yang telah berlaku untuk tutupan hutan primer.
Memang jika dilihat dari sekarang, seperti belum ada dampak yang terjadi. Namun dampak jangka panjangnya, dunia akan semakin kesulitan menghambat terjadinya kepunahan aneka ragam hayati dan memperlambat perubahan iklim yang kini menjadi masalah bersama penduduk Bumi.
Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko yang merupakan Guru Besar bidang Pengelolaan Satwa Liar sekaligus Kepala Pusat Studi Agroekologi dan Sumberdaya Lahan UGM, menekankan pada bagaimana cara pandang RUU Cipta Kerja terhadap hutan sebagai sumberdaya atau dipandang lebih dari sekedar komoditas saja. Beliau juga mengaitkan RUU ini dengan situasi merebaknya Covid-19 yang dampak ekonomi, kesehatan, dan sosialnya telah ditelaah Bappenas.
Satu hal yang ditambahkan oleh beliau adalah tentang munculnya New Emerging Infectious Dieseas (penyakit-penyakit baru) yang dikaitkan dengan keberadaan ekosistem hutan. Berkurangnya keanekaragaman hayati dan perubahan lahan secara signifikan adalah ciri yang penting dalam mudahnya timbul penyakit baru.
Meski UU disahkan untuk meningkatkan investasi asing di Indonesia, namun UU ini dianggap memiliki risiko bertentangan dengan standar praktik internasional yang bertujuan mencegah bahaya yang tidak diinginkan dari kegiatan bisnis. Jika investasi asing masuk ke Indonesia memanglah menguntungkan, dapat membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat. Tapi bagaimana jika investasi tersebut malah dimulai dengan membuka kawasan hutan secara besar-besaran untuk memperoleh lahan yang luas?.
Bukan hanya berdampak pada perkembangan flora dan fauna saja, tapi juga akan berdampak terhadap keseimbangan ekosistem yang ada di hutan tersebut. Tentunya bencana alam akan lebih mudah terjadi jika hutan sudah tidak terlindungi lagi. Berdasarkan kekhawatiran yang ada terkait kerusakan lingkungan itu, beberapa manajer aset mulai bersikap mendesak pemerintah di negara-negara berkembang untuk melindungi kelestarian alamnya.
Dikutip dari Reuters, sebanyak 35 investor global dengan total aset yang dikelola mencapai 4,1 triliun dollar Amerika Serikat, memperingatkan Indonesia adanya UU Cipta Kerja dapat mengancam hutan tropis yang keberadaannya sudah makin menyusut.
Menurut Peraturan Menteri Lingkungan dan Kehutanan No. P.83 tahun 2016, Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahterahannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan rakyat, hutan adat dan kemitraan kehutanan. Dengan demikian memang pengaturan tentang Perhutanan Sosial sebenarnya sudah ada sebelumnya. Namun secara tegas belum mengatur tentang keberadaan kebun masyarakat dalam kawasan hutan atau hutan konservasi. Pasal 28A dan pasal 28B di atas tidak juga secara eksplisit pula mengatur tentang masalah tersebut justru sekedar menguatkan tentang konsep Perhutanan Sosial.
Dengan perubahan UU Kehutanan dalam UU Cipta Kerja ini akan sangat berpotensi memberikan peluang yang lebih besar terjadinya deforestasi atau pengurangan kawasan hutan. Dengan mempermudah perizinan sekaligus juga mempercepat konversi kawasan hutan menjadi perkebunan sawit karena faktanya dari data perkebunan di kawasan TN Tesso Nilo di atas dan temuan Fakultas Kehutanan UGM, ia menunjukkan bahwa sebagian besar perkebunan di kawasan hutan dikuasai kalangan pengusaha dan sebagian kecil saja milik masyarakat.
Sementara salah satu permasalahan krusial saat ini adalah keberadaan lahan perkebunan ilegal yang berada dalam kawasan hutan, terutama hutan konservasi. Sebagai contoh adalah perkebunan tidak berizin di kawasan Taman Nasional (TN) Tesso Nilo di provinsi Riau dan banyak kawasan konservasi lainnya. Berdasarkan penelitian Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, menyebutkan seluas 2,8 juta hektar kebun sawit berada di kawasan hutan, 35 persen dikuasai masyarakat, 65 persen pengusaha. Selain itu temuan juga menyebutkan Izin pelepasan dan izin pinjam pakai kawasan hutan pun pada beberapa kasus tak melalui skema perizinan reguler atau ilegal.
RUU Cipta Kerja membuka ruang bagi badan usaha untuk mendapatkan izin berusaha pada kawasan hutan lindung. Sebelumnya dalam kawasan hutan lindung untuk pemanfaatan kawasan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu hanya diperbolehkan untuk perseorangan dan koperasi sebagaimana diatur dalam pasal 26 – 27 UU Kehutanan. Namun perubahan pasal tersebut kemudian juga memberikan ruang bagi badan usaha baik badan usaha milik negara/daerah maupun badan usaha swasta untuk mendapatkan izin pemanfaatan kawasan lindung maupun untuk memungut hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung.
Artinya masyarakat setempat harus pula berkompetisi atau bersaing dengan badan usaha yang sudah pasti padat modal dibanding perseorangan anggota masyarakat atau koperasi yang minim permodalan. Lagipula dengan izin usaha yang diberikan kepada pemilik modal sudahlah pasti potensi kerusakan dan degradasi hutan lindung akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan apabila izin hanya diberikan kepada perseorangan atau koperasi.
Rancangan Undang-undang Cipta Kerja, merupakan aturan hukum (omnibus law) usulan pemerintah ke DPR, yang menimbulkan ketakutan, antara lain dalam isu lingkungan, maupun sosial masyarakat. RUU yang digadang-gadang demi mendorong peningkatan investasi yang seharusnya bertujuan mensejahterakan masyarakat ini malah berpotensi merenggut lahan hidup warga. Berbagai kalangan protes dan bersuara kritis menyikapi RUU ini. Melindungi hutan di Indonesia yang masih tersisa tak hanya bermanfaat bagi global saja, tetapi juga bagi Indonesia. Hutan tidak hanya menyimpan karbon saja, tapi juga hutan memengaruhi iklim secara global, regional dan lokal. Jika bukan kita yang menyelamatkan hutan Indonesia agar tetap disebut sebagai paru-parunya dunia, maka siapa lagi.
(Red)