Bintan – Srikandinews.Com. M Hafiz dari
Mahasiswa Jurusan Sosiologi Modern Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Raja Haji
Tanjungpinang menyampaikan UU omnibuslaw yang disahkan oleh DPR RI tepatnya tanggal (5/10), banyak sekali memunculkan polemik dan penolakan dimasyarakat terutama pihak-pihak yang merasa akan dirugikan.
” Sehingga melakukan aksi unjuk rasa dan aksi mogok kerja yang dilakukan oleh mahasiswa dan buruh dengan tujuan untuk menolak dan dicabutnya UU omnibuslaw.
Didalam UU omnibuslaw sendiri disahkan dengan tujuan memperluas investasi dan menciptakan lapangan pekerjaan, tetapi dibalik itu semua pasti ada dampak dan akibat yang akan diterima oleh public terutama masalah lingkungan hidup yang termuat dalam omnibuslaw.
Didalam UU omnibuslaw itu tentang lingkungan hidup bahwa boleh melakukan kegiatan untuk meningkatkan daya saing diantara investor.
Paradigma masyarakat mengenai UU Omnibuslaw ciptakerja ini banyak sekali pertimbangan-pertimbangan didalamnya mulai dari muatan yang tidak sesuai dengan judul, kemudian isi yang keterbukaan, dan juga berdampak dari segi kerugian aspek lingkungan hidup dan manusia.
Berikut adalah beberapa UU dan pasal tentang AMDAL (analisi dampak lingkungan) dan PPLH (perlindungan pengelolaan lingkungan hidup):
UU tentang PPLH khususnya UU no 32 tahun 2009 pasal 1 ayat 2, yang berbunyi upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Pasal 88 UU PPLH berbunyi Setiap orang yang tindakannya, usahanya atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan mengelola limbah B3 yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup, bertanggungjawab mutlak atas kerugian yang terjadi sepanjang kerugian tersebut disebabkan oleh yang bersangkutan.
Ketentuan Pasal 71 UU PPLH memberikan kewenangan pengawasan sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan dapat dilegasilan kepada pemerintah daerah melalui pengaturan peraturan pemerintah. Pengawasan sentralistik ini tentu diragukan efektifitasnya
Pasal 87 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Setiap penanggung jawab usaha dan kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi atau melakukan tindakan tertentu.
UU dan pasal yang tertera diatas adalah UU mengenai AMDAL (analisis dampak lingkungan) dan PPLH (perlindungan pengelolaan lingkungan hidup) yang bertolak belakang dengan UU omnibuslaw saat ini, karena jika kita kaji dan bandingkan antara keduanya terutama dalam UU omnibuslaw yakni memudahkan para investor untuk melakukan kegiatan atau proyek meningkatkan daya saing dan kemudian masyarakat pun dikawasan tersebut akan menerima akibat dari dampak tersebut.
” mulai dari kawasan lingkungan hidup yang akan rusak, kemudian kemudahan investasi-investasi yang dipusatkan kembali ke pemerintah pusat atau presiden dalam artian pemerintah daerah tidak memiliki wewenang lagi dalam keputusan sanksi dan pelnggaran.
“Perlu digaris bawahi setelah disahkannya UU cipta kerja tersebut yang didalamnya memuat tentang perlindungan lingkungan hidup yang harusnya oleh peran publik terutama lembaga-lembaga yang berperan aktif dalam perlindungan lingkungan hidup untuk lebih leluasa mengawasi, melindungi, dan merawat lingkungan hidup dikarenakan sistem yang sentralisasi sehingga dikurangi batasan dan wewenangnya.
Masyarakat yang berperan didalamnya kini tidak memiliki hak lagi untuk memprotes ataupun merasa keberatan jika dilaksanakan kegiatan proyek diranah lingkungan hidup, karena semuanya tergantikan dengan pemerintah pusat atau sentralisasi yang mengatur dan memutuskan.
Dengan adanya sistem sentralisasi tersebut kelompok bisnis pun akan makin leluasa untuk menciptakan proyek ataupun kegiatan untuk upaya meningkatkan daya saing diantara mereka dengan persetujuan pemerintah pusat dan tidak perlu lagi izin lingkungan.
“Kemudian dalam pelanggaran-pelanggaran yang akan terjadi kedepannya tentang lingkungan hidup pemerintah daerah tidak berwewenang lagi untuk hal mengadili dan memberikan sanksi karena semuanya atas keputusan pemerintah pusat.
“Ketika kita berbicara dampak dan akibat dari UU cipta kerja tersebut terutama dan terkhusus masalah perlindungan lingkungan hidup, tentu sekali banyak sekali dampak yang akan diterima oleh kalangan masyarakat dan juga anak cucu kita nantinya. Terutama dalam hal pemanfaatan lingkungan hidup yang sudah dikurangi.
“Tanggapan masyarakat mengenai diubahnya UU dan pasal mengenai AMDAL dan PPLH yang kemudian pada akhirnya akan menyulitkan mereka dalam menjaga merawat lingkungan hidup. Mengenai hal tersebut opini dari masyarakat pun bermacam-macam, mulai dari muatan UU tidak sesuai dengan judulnya, kemudian terlalu cepat mengambil sikap tanpa berpikir solusi dari dampaknya, sehingga menjadi faktor penarik utama masyarakat dari kalangan mahasiswa, buruh, dan elemen-elemen lain yang merasa akan dirugikan dari disahkannya UU ciptakerja tersebut untuk menyatakan sikap menolak terhadap UU tersebut dengan melakukan mogok kerja dan juga aksi unjuk rasa.
“Walhi ( wahana lingkungan hidup Indonesia) mengatakan bahwa RUU ini muncul dan kemudian disahkan karena keputusan dari kekuasaan yang oligarki yang dilakukan di istana, dan kemudian menjadikan bisnis kotor yang tidak ramah lingkungan dan kemanusiaan dengan menyampingkan hak-hak publik untuk berperan andil dalam lingkungan hidup Indonesia tanpa memperdulikan solusi dari masalah yang akan terjadi nantinya.
(Red)